HALAL BI HALAL DAN HIKMAHNYA


Selesai berhari raya, khususnya di Indonesia ada sebuah tradisi yang menggambarkan memperbaiki dan mempererat hubungan antar sesama manusia sebagai simbol keharmonisan dengan sosialnya setelah mereka memperbaiki hubungan dengan sang Khaliq selama satu bulan penuh. Hal ini ditujukan agar dua sisi kehidupan tersebut bisa dicapai dengan baik

Sebagaimana firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ ... : ال عمران : ١١٢


"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…" (Ali Imran: 112) 

Tradisi tersebut populer dengan sebutan Halal bi Halal, sebuah nama dan istilah yang digunakan untuk saling bermaaf-maafan yang sama sekali tidak ditemukan di Negara Islam lainnya, terlebih di masa awal generasi Islam. Permasalahannya apakah kemudian halal bi halal dikategorikan sebagai bid'ah sayyiah (tercela) yang pelakunya diancam dengan neraka? 

Para ulama sepakat, diantaranya dipopulerkan oleh Imam Syafi'i, bahwa: 'Setiap sesuatu yang memiliki dalil dasar dalam agama, maka tidak disebut sebagai bid'ah yang tercela. Halal bi halal memiliki konotasi makna untuk saling meminta 'kehalalan' atau permintaan maaf kepada orang lain terkait dengan perilaku atau perkataan yang menyakiti mereka. 

Kalimat 'meminta halal' atau maaf ini bersumber dari sebuah hadtis sahih yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ ِلأَخِيْهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ : رواه البخاري رقم ٦٥٣٤


"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa pernah berbuat dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya ia minta kehalalannya (minta maaf). Sebab disana (akhirat) tidak ada dinar dan dirham (untuk menebus kesalahan). Sebelum amal kebaikannya diambil dan diberikan kepada saudaranya yang didzalimi tersebut. Jika ia tidak memiliki amal kebaikan, maka amal keburukan saudaranya akan dilemparkan kepadanya" (HR al-Bukhari No 6534) 

Dari sinilah kita bisa melihat betapa bijaknya para ulama dan kiai di Negara kita yang mampu menerapkan kandungan hadits di atas ke dalam sebuah tradisi lokal yang bisa dilakukan oleh semua kalangan. 

Acara halal bi halal yang menjadi rutinitas dalam banyak kegiatan, seperti di masjid, kampung, tempat kerja, kantor dan komunitas masyarakat lainnya, tidak semata-mata menjadi seremoni belaka, namun menjadi faktor besar dalam kerukunan masyarakat, jauh dari perilaku kriminalitas dan anarkhis, juga turut menjadi penyumbang kondisi masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalani kehidupan bernegara

Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

عَنْ سَخْبَرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ وَأُعْطِيَ فَشَكَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغْفَرَ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني في الكبير رقم ٦٤٨٢ والبيهقي في شعب الايمان رقم ٤١١٧)


"Diriwayatkan dari Sakhbarah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa diberi cobaan kemudian bersabar, diberi nikmat kemudian bersyukur, dianiaya kemudian memaafkan, dan berbuat dzalim kemudian meminta maaf, maka merekalah yang mendapatkan kedamaian dan merekalah yang mendapat hidayah" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 6482 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 4117). 

Ulil Albab Djalaluddin 
Alumni Al Falah Ploso Kediri

Posting Komentar

Selamat datang di Blog Dalil Aswaja An Nahdliyah, silahkan beri komentar di Postingan ini, berkomentarlah dengan sopan dan sesuai isi Postingan. Terimaksih
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.